Di dunia produk digital, ada satu kata yang sering diucapkan dengan wajah serius—padahal definisinya bisa beda-beda tergantung siapa yang ngomong: Engagement.

Buat sebagian orang, engagement itu “pokoknya rame.” Buat yang lain, engagement itu “banyak yang balik lagi.” Buat tim yang sudah kenyang data, engagement itu bukan perasaan, tapi sekumpulan metrik yang (kalau dibaca benar) bisa menjawab pertanyaan paling penting: produk kita beneran dipakai atau cuma dilihat sepintas?

Dan di antara sekian banyak cara mengukur engagement, ada tiga topik yang paling sering jadi bahan diskusi (atau debat kecil di Slack):

  1. CCU peak (puncak pengguna bersamaan),

  2. session length (durasi sesi), dan

  3. fitur yang paling dipakai (feature usage).

Artikel ini membedah ketiganya dengan gaya yang tetap manusiawi. Karena jujur, data itu penting—tapi kalau cara bacanya bikin semua orang ngantuk, hasilnya bukan insight, melainkan laporan yang cuma hidup di folder “Final_Final_Rev2”.

1) Engagement dan Ilusi “Ramai”: Kenapa Angka Besar Kadang Menipu?

Mari mulai dari masalah klasik: “Kita naik traffic nih!”
Bagus. Tapi traffic itu seperti orang lewat depan warung. Kamu senang, tapi belum tentu ada yang beli.

Engagement bukan cuma soal berapa banyak yang datang, tapi seberapa dalam mereka “ngobrol” dengan produk kamu:

  • mereka bertahan berapa lama,

  • mereka melakukan aksi apa,

  • mereka balik lagi atau tidak,

  • dan fitur mana yang benar-benar jadi alasan mereka stay.

Jadi, engagement itu bukan pesta yang ramai di depan. Engagement itu pesta yang orang-orangnya masih betah sampai lagu terakhir.

2) CCU Peak: Ketika Produk Kamu Punya “Jam Ramai” Versi Digital

CCU (Concurrent Users) adalah jumlah pengguna yang aktif secara bersamaan dalam satu waktu.
CCU peak adalah titik tertinggi dari CCU pada periode tertentu (misalnya harian, mingguan, atau saat event).

Kenapa CCU peak penting untuk engagement?

Karena CCU peak memberi sinyal:

  • kapan produk kamu paling “hidup”,

  • apakah ada pola jam ramai,

  • apakah campaign atau event beneran ngangkat aktivitas,

  • dan apakah infrastruktur kamu siap menghadapi lonjakan.

Kalau engagement itu sebuah konser, CCU peak itu momen ketika penonton paling penuh, tangan paling tinggi, dan server paling berkeringat.

Cara baca CCU peak yang benar (biar nggak salah paham)

  1. Lihat konteksnya: CCU peak tinggi karena event? karena push notifikasi? karena promo?

  2. Bandingkan dengan baseline: CCU peak tinggi tapi hanya sesaat bisa jadi “hype spike”, bukan engagement yang stabil.

  3. Cek kualitasnya: CCU peak tinggi tapi session length pendek bisa berarti orang datang, lihat-lihat, lalu pergi.

CCU peak bagus, tapi pertanyaannya…

  • CCU peak naik, apakah user balik besok?

  • CCU peak naik, apakah mereka pakai fitur inti?

  • CCU peak naik, apakah conversion juga naik?

3) Session Length: Durasi Sesi yang Bisa Jadi Pertanda Cinta… atau Kebingungan

Session length adalah lama waktu pengguna berada dalam satu sesi penggunaan produk.
Metrik ini sering dipakai untuk membaca Engagement karena terasa “logis”: makin lama, makin engaged.

Tapi di sinilah jebakannya: durasi panjang bisa berarti dua hal yang bertolak belakang:

  1. pengguna betah karena value-nya tinggi, atau

  2. pengguna nyangkut karena UX-nya bikin muter-muter.

Makanya session length harus dibaca dengan konteks.

Bagaimana session length membantu membaca engagement?

  • Produk hiburan (game, streaming, sosial): session length yang tinggi biasanya kabar baik—orang betah.

  • Produk utilitas (banking, e-commerce checkout, support): session length terlalu tinggi bisa jadi sinyal friksi—orang kesulitan menyelesaikan tugas.

Jadi, engagement yang sehat bukan selalu “lama”. Engagement yang sehat adalah durasi yang sesuai dengan job-to-be-done.

Tips interpretasi session length biar nggak kejebak

  1. Segmentasikan user: baru vs lama. User baru sering lebih lama karena eksplorasi.

  2. Pisahkan jenis sesi: sesi browsing vs sesi transaksi vs sesi error recovery.

  3. Lihat distribusi, bukan rata-rata: rata-rata bisa ketarik oleh outlier (satu orang AFK 2 jam). Median atau percentiles sering lebih jujur.

Kalau kamu cuma mengandalkan rata-rata session length, itu seperti menilai kebahagiaan tim dari satu orang yang selalu bilang “aman” padahal sebenarnya burnout.

 

Karena CCU peak tanpa tindak lanjut itu seperti venue penuh tapi merch nggak laku: ramai, tapi belum tentu sehat.

4) Fitur yang Paling Dipakai: Engagement Itu Terjadi di Mana, Bukan di Mana Kamu Berharap

Metrik fitur yang paling dipakai (feature usage) adalah cara paling “konkret” untuk memahami engagement: user ngapain saja di produk kamu?

Dan sering kali, hasilnya bikin kamu sedikit refleksi:

  • fitur yang kamu bangun 3 bulan ternyata dipakai 3 orang,

  • fitur yang kamu anggap “tambahan” ternyata jadi alasan orang balik,

  • dan ada fitur lama yang kelihatan biasa, tapi sebenarnya tulang punggung engagement.

Mengukur fitur paling dipakai dengan lebih tajam

Jangan cuma hitung “berapa kali diklik.” Coba lihat beberapa dimensi ini:

  1. Adoption rate: berapa persen user yang pernah pakai fitur itu?

  2. Frequency: seberapa sering dipakai per user?

  3. Depth: dalam satu sesi, fitur itu memicu aksi lanjutan atau tidak?

  4. Retention correlation: user yang pakai fitur X lebih mungkin balik minggu depan atau tidak?

Karena engagement bukan hanya “dipakai”, tapi “dipakai dan bikin balik lagi.”

Waspada: fitur paling dipakai bisa jadi fitur paling “terpaksa”

Contoh:

  • “Reset password” sering dipakai. Apakah itu engagement? Ya, tapi engagement yang pahit.

  • “Help center” ramai. Apakah produk kamu bagus? Atau banyak yang bingung?

Fitur populer itu bagus, tapi cek: populer karena menyenangkan atau karena problem?

5) Menggabungkan CCU Peak + Session Length + Feature Usage: Trio yang Saling Mengoreksi

Kalau tiga metrik ini manusia, mereka akan jadi trio teman yang saling mengingatkan:

  • CCU peak bilang: “Kapan rame.”

  • Session length bilang: “Seberapa lama mereka bertahan.”

  • Fitur paling dipakai bilang: “Mereka ngapain selama di sini.”

Dan insight paling berguna biasanya muncul saat ketiganya dibaca bareng, misalnya:

Pola A: CCU peak naik, session length turun

Interpretasi umum:

  • ada spike traffic (promo/event), tapi value belum kena.
    Action:

  • cek onboarding, landing experience, dan “first 2 minutes”.

Pola B: CCU peak stabil, session length naik, fitur inti makin sering dipakai

Ini biasanya sinyal engagement membaik.
Action:

  • scale up, optimasi performa, dan mulai pikir monetisasi atau ekspansi use case.

Pola C: Session length naik, tapi fitur yang dipakai justru help/setting/error

Sinyal friksi.
Action:

  • audit UX, bug funnel, dan friction points.

Dengan pola-pola ini, engagement jadi lebih dari sekadar angka. Dia jadi cerita yang bisa kamu tindaklanjuti.

6) Kesalahan Paling Umum Saat Mengukur Engagement

Biar kamu tidak jadi tim yang sibuk bikin dashboard tapi miskin keputusan, ini beberapa kesalahan klasik:

  1. Kebanyakan metrik, tidak ada narasi.

  2. Tidak segmentasi user. Semua dicampur, padahal user baru dan lama beda dunia.

  3. Tidak membedakan “aktivitas” dan “nilai”. Klik banyak belum tentu value.

  4. Mengabaikan kualitas data event. Tracking berantakan = insight palsu.

  5. Mengukur tanpa hipotesis. Data itu alat jawab pertanyaan, bukan pajangan.

Penutup: Engagement Itu Cara Produk Kamu Membuktikan Diri

Kalau harus diringkas, Engagement itu bukti bahwa produk kamu punya tempat di hidup orang. Bukan sekadar didownload, bukan sekadar dibuka, tapi benar-benar dipakai—dan dipakai lagi.

Dengan membaca CCU peak, kamu paham kapan produk kamu hidup.
Dengan membaca session length, kamu paham apakah orang betah atau tersesat.
Dengan membaca fitur yang paling dipakai, kamu paham value itu terjadi di mana.

Dan saat ketiganya dipakai bersama, kamu tidak lagi menebak-nebak. Kamu mulai membuat keputusan produk yang punya dasar. Bukan cuma “kayaknya”, tapi “ternyata”.